Minggu, 26 April 2020

Perspective Kepasrahan (mensikapi corona part-3)

Pada suatu saat saya berbincang dengan seorang mubaliq yang cukup terkenal dan mempunyai reputasi di lingkungan kami dalam skala sekelas kota kabupaten.
Iya tentu seorang mubaliq pastilah mempunyai kemampuan verbal yang baik dan pengetahuan yang luas, apalagi beliau pernah menduduki berbagai jabatan penting di lingkungan Departement Agama dan juga pernah menjadi Dosen maupun staf pengajar lainnya, yang tentu pendidikan formalnya tidak perlu diragukan lagi.
Dalam perbincangan tersebut mulai menjurus ke suatu perdebatan yang tentunya bukan level saya untuk berhadapan dengan beliau, dengan kemampuan-kemapuan yang mereka miliki.
Dalam perbincangan tersebut saya memang mencoba untuk memancing agar beliau berbicara karena saya memang ingin tahu apa yang dipikirkan orang-orang seperti beliau ini, sehingganya ada kesan seoalah saya orang yang suka ngeyel, namun sebenarnya saya ingin agar beliau berbicara lebih banyak, karena saya juga ingin banyak tahu.
Pada dasarnya saya mengagumi beliau dengan ilmu dan wasasannya yang luas, namun ada sedikit
perbedaan pandangan soal keyakinan menghadapi kejadian dan ketentuan-Ketentuan Allah.
Dalam menghadapi kejadian dan ketentuan-ketentuan Allah saya mengambil pelajaran bagian dari ilmu-ilmu ke-Thoriqoh-an yang saya ketahui, dan saya juga faham beliau ini sangat faham juga dengan sejarah dan apa Thoriqoh itu, karena beliau juga sering bercerita tentang itu. dan saya juga melihat dengan mata kepala sendiri beliau juga sering hadir di majelis-majelis Thoriqoh.

Salah satu ilmu ke-Thoriqoh-an yang saya ketahui adalah makrifatiyah, yaitu riyadhoh dan berserah diri sepenuh hati kepada apa maunya Allah,

Dalam pembicaraan tersebut dimulai dengan masalah Virus Corona, dan kami sepakat bahwa virus korona itu sangat berbahaya. namun dalam menghadapinya ternyata kami mempunyai perbedaan cara dan pemikiran.
Dalam pemikiran beliau yang saya tangkap bahwa karena kita tahu bahwa virus Corona itu sesuatu yang berbahaya, maka perlakukan sesuatu yang berbahaya tersebut sesuai dengan apa yang ada, yaitu dihindari dan diantisipasi agar tidak terkena  sesuai prosedur yang disarankan oleh para ahlinya.
Kemudian saya bertanya kepada beliau: "Bagaimana kalau kita yakin bahwa Allah akan menghindarkan dari bahaya tersebut?".
Kemudaian Beliau balik bertanya: "Bagiamana kamu bisa yakin Allah akan menghindarkan dari bahaya tersebut?".
Saya jawab: "ya yaqin saja, karena Allah maha kuasa atas segala sesuatu".
Beliau bertanya lagi: "bagimanan kamu bisa yaqin padahal itu sudah sunnatullah (ketetapan hukum Allah) bahwa itu berbahaya?"
Kemudaian saya balik tanya lagi: "menurut sunnatullah, api itu panas apa enggak?"
Jawab Beliau :"jelas menurut sunnatullah api jelas panas"
Saya bertanya lagi: "kenapa Nabi Ibrahim, sunatullah bahwa api panas itu tidak berlaku untuknya pada saat itu?"
Jawab Beliau: "ya itu namanya mukzizat, karena beliu itu Nabi Ibrahim seorang nabi"
Beliau berkata dan bertanya: "apakah kamu merasa seperti nabi sehingga kamu yaqin tidak akan terkena virus corona?"
saya diam sebentar hampir-hampir tidak mampu dan tidak berani jawab.
"iya pak saya bukan siap-siapa di hadapan Allah, tapi saya tetap yaqin Allah akan menghindarkan saya dari virus corona" saya menimpali.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu" lanjut beliau.
"iya, saya mengambil pelajaran dari apa yang pernah Bapak saya ceritakan kepada saya, orang-orang zaman dulu itu, doa-doanya lebih makbul dan mujarab walaupun doanya simple-simple, cukup  baca Syahadat dan Sholawat Nabi karena sangat yaqin".
"pernah diceritakan mbah saya hanya baca doa yang simple tersebut berkelana melewati hutan yang masih ada harimaunya dan mbah saya pernah berpapasan dengan harimau, namun alhamdulillah tidak ditimpa bahaya dari harimau tersebut" lanjut saya bercerita.
yang selanjutnya ini sebenarnya tidak terduga apa yang akan dikatakan beliau
"kalau begitu apakah kamu berani mengadapi harimau atau virus corona, atau bahaya lainnya, dengan kamu yaqin atau dengan berdoa seperti itu?"
"Kalau kamu yaqin coba kamu hadapi itu virus corona, kamu terjun ke lapangan tangani itu orang yang jelas-jelas kena virus"
saya terdiam tidak bisa jawab.
Beliau menegaskan lagi pandangannya: "kalau saya akan hindari itu virus corona sesuai sunnatullah, karena saya bukan nabi dan bukan orang-orang zaman dulu seperti yang engkau sebutkan"
Saya coba beranikan menimpali: "dengan berkata seperti itu berati Bapak menutup diri untuk bisa seperti nabi dan orang-orang zaman dahulu?".
"Iya karena saya bukan nabi dan bukan orang-orang zaman dahulu"  jawab beliau, dan dialog berakhir.

Kemudian setelah itu saya merenung dan berpikir, beliau itu benar hanya saja ada yang kurang sepakat di benak saya tentang :
"Kalau kamu yaqin coba kamu hadapi itu virus corona, kamu terjun ke lapangan tangani itu orang yang jelas-jelas kena virus"

Iya keyakinan kok disuruh coba.
Bukankah keyakinan pertolongan Allah terhadap sesuatu yang dianggap menimbulkan bahaya, bukan suatu sok-sokan untuk menantang bahaya, bahkan berniat untuk menjadi pahlawan atau superhero, tapi karena dasar keyakinan tersebut adalah kepasrahan diri. Seperti apa yang diceritakan orang dulu yaqin dengan doa yang dibacakannya akan ditolong dan diselamatkan oleh Allah ketika bertemu atau berpapasan dengan harimau di hutan, bukan berarti orang tersebut berharap atau dengan sengaja untuk berpapasan harimau dihutan, kemudian seperti test-cek untuk membaca doa tersebut.
Allah maha tahu apa yang ada dalam hati setiap manusia, Alah tidak pernah tidur dan lengah, lakukan apa yang kita yaqini  hanya karena Allah. Allah pasti akan menolong sesuai dengan cara-Nya.

Allah tergantung apa prasangka hamba-Nya. Kalau kita menganggap sesuatu yang belum jelas bahnyanya dan meyakini itu bahaya maka bisa jadi Allah akan menjadikan bahaya sesuai apa yang kita yakini dan takuti

Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi, no. 3479. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).


berikut nadhom syairan diijazahkan oleh ulama sufi kita sebagai penagkal wabah.



Walahua'alam
Mohon maaf kurang lebihnya
Sekedar menjadi pelajaran dan renungan
(achmad budiono)







Jumat, 24 April 2020

Mensikapi Covid-19 part 2 (pasca Ramadhon)

Pada part pertama sudah kita berikan gambaran bagaimana seorang muslim mensikapi Covid-19.
Tentunya secara logika akal sehat bisa kita simpulkan bahwa, virus corona itu memang ada, dan
virus korona itu mempunyai kemampuan untuk menular secara hebat seperti yang dikemukakan oleh para ahlinya dan sesuai kenyataan yang ada. Oleh sebab itu kita harus mengikuti (SOP) Standard Operasional Prilaku yang diterapkan oleh para ahli yang dimotori oleh para ulil-amri (pegawai pemerintahan) yang salah satunya adalah Social Distancing
yaitu membuat jarak atau membatasi pergaulan sosial antar individu.
Di jelaskan pada part 1 bahwa sebagai seorang muslim beriman, kita hendaknya mengikuti apa perintah Allah melalui Rosulnya, namun kita juga harus mengikuti perintah para ulil-amri jika untuk hal yang tidak bertentangan dengan keimanan.

Pada part 2 ini akan membahas tentang hubungannya dengan keimanan.
Seorang beriman (yakin) bahwa semua kejadian yang terjadi adalah menurut kehendak Allah.
Virus Corona ini ada dan terjadi serta menyebar, serta memimbulkan bahaya maupun yang hanya sekedar menjadikan cobaan adalah kesemuanya atas kehendak Allah. Bahwa terlepas dugaan virus corona ini ada karena rekayasa genetika di Lab oleh tangan manusia dan penyebarannya disekenariokan oleh sekelompok manusia, dan kalaupun itu campur tangan manusia kesimpulannya tetap semuanya dari Allah dan semuanya sepengetahuan oleh-Nya. Karena Allah menciptakan sesuatu dengan Kun-fayakun-Nya itu dilihat dari kacamata manusia, itu bisa dengan seketika, bisa juga melalui proses (seperti apa yang kita lihat kejadian seorang manusia). Dan Kun-fayakun ini
terserah pada Allah mau melalui proses dan wasilah-wasilah ataupun seketika itu.

Di bulan Ramadhon ini saat yang baik kita renungkan semua ini, apakah dengan semua ini adanya virus corona kita akan lewati begitu saja dengan ketakutan-ketakutan disaat-saat moment bulan yang penuh berkah ini?.
Bahkan saking takutnya sampai ada yang melarang orang bertadarus di masjid dengan speaker (seperti biasanya tahun-tahun kemarin)  padahal orang tadarus tersebut sendirian. yang tentu sudah memenuhi maklumat social distancing.
Maka disamping kita harus toleran juga (tidak usah ngengkel dan ngeyel) tapi kita pertanyakan juga keimanan orang yang melarang tadarus tadi walau hanya sekedar dalam hati yang mudah-mudah hanya sekedar bermaksud baik dan nantinya diberi petunuk oleh Allah.
Untuk melihat dan mensikapi itu semua, mari kita lihat dan kita ukur keimanan pada diri kita sendiri.
Bagi orang yang imannya masih pada level-lewel bawah seperti kita-kita ini, maka logika akal tentunya akan lebih mendominasi daripada iman kita. ukuran untung rugi, ukuran bahaya dan tidak bahaya masih jadi itung-itungan.
Untuk pergi ke masjid, maka kita masih itung-itungan, bahaya atau enggaknya, ditambah lagi dengan adanya maklumat Social distancing,
maka akan lebih banyak pertimbangan yang akan kita lakukan untuk sekedar mengisi bulan Ramadhon yang pernuh berkah ini.
Dengan ke Masjid dan melakukan sholat jammah saja kita sudah dianggap melanggar maklumat Social distancing dengan berbagai konswekwensinya, yaitu dianggap menentang bahaya, dianggap tidak patuh pada ulil-amri, bisa di cap sebagai orang yang bandel dan tidak toleran terhadap lingkungannya.
Itulah mungkin yang dipikirkan sebagaian besar dari kita sebagai seorang muslim yang masih mempunyai iman pas-pasan.

Untuk orang yang imannya masih pada level sayriat akan menganggap bahwa semua kejadian itu ada sebab-akibat yang mereka sebut "Sunnatullah"
itulah orang orang tersebut sering disebut orang berpaham Qodariah.
Tetapi bagi orang-orang yang mempunyai level keimanan lebih tinggi bahkan sampai makrifat, mungkin yang dipikirkan bukan seperti itu. "Bahwa semua dari Allah dan akan disandarkan kembali kepada Allah"
Apapun yang datang dari Allah terserah kehendak Allah, dan logika akal manusia tidak berlaku untuk hal ini. ini adalah sepenuhnya logika iman (keyakinan)

Apabila kita berbicara pada orang-orang yang berfaham Qodariah ini dengan orang orang yang berfaham Makrifatiah, tidak akan nyambung dan bisa jadi akan terjadi perdebatan yang sia-sia namun orang makrifat tidak kan mau berdepat lebih banyak.
Misal sebagai contoh :
Kita bertanya pada orang yang berpaham Qodariyah "api itu panas atau dingin?". maka mereka akan menjawab bahwa "api itu pasti panas".
Tapi orang yang mempunyai faham makrifat akan menjawab, "api itu panas atau dingin terserah Allah!"
kemudian orang yang berfaham makrifat akan berkata "mengapa kamu tidak mengambil pelajaran bahwa Nabi Ibrahim tidak terbakar oleh api?"
Kemudian orang yang berfaham Qodariya juga akan menjawab "Mereka kan Nabi, ya tentu beda dengan kita perlakuannya dihadapan Allah".

Iya, memang kadang kita-kita ini mengunci atau menutup diri kita ini dari apa yang sebenarnya Allah mempunyai kekuatan dan Maha kuasa atas segala sesuatu,
karena memang kemampuan iman kita ya seperti itu atau memang kita belum diberikan petunjuk oleh Allah karena kurangnya kedekatan kita dengnn-Nya karena masih banyaknya dosa-dosa yang ada pada diri kita.

Iya, jangan dipaksakan dan memaksakan diri, bukan berarti kita tidak ingin naik level.
Jika kita yang masih seperti ini tiba-tiba lancang dan memaksakan diri di level makrifat "ah..., aku tidak takut virus corona karena itu semua dari Allah maka terserah Allah apa yang ditimpakan pada kita" itu belum pada tempatnya.
Orang menuju sampai level makrifat tidak serta merta. ada berbagai proses yang harus dilaluinya dan dilampauinya.
Iman jelas, Ilmu jelas, sabar jelas, prihatin dengan kelaparan, kesulitan dan berbagai cobaan-cobaan yang telah dilaluinya, sehingga kedekatannya dengan Sang pencipta yaitu Allah tidak diragukan lagi.
Orang-orang seperti ini tidak butuh lagi pada dunia, juga tidak mengharap balasan di akhirat, tapi justru Allah akan melimpahkan rahmat dan Karuanianya baik di dunia maupun di Akhirat kelak

Iya pada moment bulan Ramdhon ini, mari kita tata dan perbaiki iman kita, hati kita, kita berusaha mendekatkan diri dan lebih dekat kepada Allah dengan menjalankan segala perintahnya dan menjahui segala larangannya, dengan beribadah yang baik dan benar, menambah ilmu dan wasasan, beramal sholeh, sabar dan prihatin, lebih peduli dengan sesama terutama orang-orang yang berkekurangan dan dalam kesulitan. secara konskwen dan kontinyu (istiqomah) tidak pernah bosan dan jemu. Sebagaimana Rosulullah Muhammad Sollallahualaihiwasallam contohkan, dan oleh para Rosul lainnya serta para Wali dan Ulil albab (orang-orang Taqwa yang berilmu)
Dari semua itu tidak mudah dan tidak serta merta.
"Sabar" misalnya harus dilandasi iman, Ilmu serta ketaqwaan kepada Allah.
Dengan Ilmu kita dapat megerti yang benar dan salah
Dengan ketaqwaan kepada Allah kita merasa orang yang hina dan tidak mempunyai apa-apa dihadapan Allah, sehingga kita sepenuhnya tergantung pada Allah.
Jika ada orang yang menghina, mencaci kita, menyalahkan kita, dengan ilmu dan ketaqwaan kita tidak lantas membalas orang tersebut atau menyalahkannya tapi selalu intstropeksi diri, jika kita yang salah maka kita perlu memperbaiki diri, jika kita merasa benar maka cacian atau hinaan orang tersebut sebagai rahmat bagi kita agar kita lebih bisa mendekat kepada Allah dengan mendoakan orang-orang tersebut karena mereka orang orang yang tidak mengerti.
Dengan sabar kita akan selalu bersyukur dengan semua Rahmat yang Allah berikan, tidak menutup-nutupi kebaikan yang ada, namun juga tidak sombong dengan megembar-gemborkan apa yang kita telah diberikan oleh-Nya sehingga menjadi ria.
Kalau semua itu bisa kita lakukan kemudian apapun yang terjadi kita serahkan kepada Allah, Insyaallah Allah akan menaikan Maqom (level) atau derajat kita dihadapan Allah, yang otomatis akan naik pula dihadapan Manusia.
Dan pasti Allah akan menolong orang yang selalu mencintai Allah sesuai dengan Maqom dan derajatnya (aku dekat engkau dekat-aku jauh engkau jauh)
Iya tidak usah menyalahkan yang salah, kalau bisa membenarkan yang belum benar atau kalau tidak mampu berserah diri-lah kepada Allah.
Allah maha tahu apa yang ada di dalam dada kita, kita tidak perlu ngeyel dan ngengkel pada mahluk. Namun yang kita perlu adalah tetap ber-amarmakruf Nahi munkar sesuai dengan kemampuan kita dengan cara yang benar dan indah karna Islam itu indah



2|155|Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

214|Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?  Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya:  "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.

21|35|Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).  Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

Sekian semoga bermanfaat
(achmad budiono)