Senin, 22 Oktober 2012

MEMILIH MODEL JARINGAN TRANSPORTASI JAKARTA

"JAKARTA"  sebagai kota metropolitan yang terus berkembang secara pesat menuju kota megapolitan sampai saat ini belum mempunyai jaringan transportasi yang memadai terutama untuk mobilitas warganya.
Sampai saat ini Jakarta bisa dikatakan hanya mengandalkan jaringan transportasi berbasis jalan raya. Memang dengan jalan raya semua tempat bisa di jangkau dengan kendaraan bermotor, tetapi kapasitas yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang ada menimbulkan masalah yang sulit untuk dipecahkan.
Melihat topografi Jakarta yang sedemikian rupa maka jaringan jalan cenderung akan berbentuk grid. Jaringan jalan berbentuk grid ini mempunyai kelebihan semua tempat dapat diakses dari manapun tempat, akan tetapi mempunyai kekurangan mengenai kecepatan akses karena mempunyai friksi/hambatan yang sangat besar pada simpul-simpul persilangan, bahkan apabila pada jam-jam sibuk dan kapasitas jalan sudah penuh makan akan mudah terjadi kemacetan total "grid lock" yang sulit untuk terurai.
Untuk itu pertumbuhan jaringan jalan yang berbentuk "grid" yang secara alami ini harus diberikan jalan keluarnya yaitu dengan membangun jalan-jalan yang bepola "webing" atau anyaman dan membuat jaringan primer yang berpola radial (Ring Road) yang dipadu dengan jaringan utama timur barat dan utara selatan dengan pola duri ikan (THORNS FISH ACCESS).
Dengan jaringan jalan berpola webing ini maka friksi/hambatan di setiap persimpangan bisa diminimalkan



BERIKUT BEBERAPA POLA PERSIMPANGAN YANG TERMASUK DALAM POLA WEBING/ANYAMAN

Roundabout (Bundaran) adalah salahsatu pola untuk mengakomodasi untuk 3 persimpangan atau lebih. Cara ini efektif untuk akses-akses jalan di dalam perkotaan dengan kecepatan relatif rendah/sedang.

Polas Semanggi, sesuai untuk akases dari kecepatan tinggi ke kecepatan sedang dengan friksi/hambatan yang relatif kecil. Disitu masih ada sedikit weaving (pertukaran jalur) antara yang keluar dan yang masuk.
Pola "FLT" Free Turn Left (belok kiri jalan terus)

Pola "close cross" atas bawah, tidak ada friksi tetapi tidak ada akses antara kedua jalan yang bersilangan.  Pola ini tetap diperlukan apabila kedua jalan tersebut sudah mempunyai akses di lain tempat yang lebih baik.
FREE WAY JUNCTION
Pola seperti ini bisa dikatakan pola terbaik untuk 3 persimpangan karena hampir bebas dari friksi/hambatan

"U"TURN
Selain pola persimpangan yang baik yang tidak kalah pentingnya adalah akses untuk berputar arah atau "U" Turn. Dengan "U" Turn yang baik maka friksi dapat diminimalkan.

Elevated Highway (adalah salah satu cara untuk mengurangi friksi),
tetapi Elevated Highway ini banyak ditentang karena akan mengurangi keindahan kota, bahkan apabila kolong jalan bertingkat ini tidak mendapatkan perhatian kusus akan menjadi tempat bagi tuna wisma.


Walaupun jaringan jalan raya dibangun terus tertapi apabila rasio jalan raya dan kendaraan tetap tidak bisa diatas 1:25 (artinya 1 kendaraan bermotor idealnya memiliki luasan jalan minimum 25 kali luas kendaraan) maka kenyamanan berkendara tidak pernah akan terpenuhi, dan Jakarta tidak akan samggup memenuhi rasio tersebut.
Lalu bagai mana solusinya ?
"Mau tidak mau solusinya adalah merapkan angkutan umum masal secara terpadu (Integrated Mass Rapid Transit Network), lihat/baca beberapa model MRT di sisni
" IMRTN ini  apapun moda yang digunakan yang paling sesuai adalah yang berbasis rel.
Dengan jaringan berbasis "Rel" maka friksi atau benturan-benturan  dan gesekan pada waktu perjalanan dapat diminimalkan  dan juga tidak ada bentuk-bentuk penggunaan yang bersifat privat sehingga akan mudah untuk pengelolaanya, mulai shedulling, timing (ketepatan yang terjaga), dan capacity adjustment (kapasitas yang dapat disesuikan dengan kebutuhan).
Berikut beberapa  model route jaringan MRT di Jakarta yang masing-masing model memiliki kekurangan dan kelebihan:




Jika ada yang berasumsi MRT itu harus murah itu kurang tepat. MRT itu memang mahal tetapi sesuai dengan apa yang harapkan yaitu mengakomodasi pengguna kendaraan pribadi yang rata-rata berpenghasilan cukup agar beralih ke moda tersebut. Jika MRT dibikin murah mungkin pelayanannya tidak akan maksimal lagi yang tak ubahnya kereta ekonomi. Jadi semua ada porsinya masing-masing:
MRT-boleh mahal tetapi servisnya harus mempunyai standard yang tinggi. Porsinya untuk mengakomodasi pengguna kendaraan pribadi.
LRT, Busway dan Commuter Rail Service-untuk kalangan menengah dengan tarif medium, porsinya untuk pekerja kantoran, karyawan dan mahasiswa
Angkot dan Bus Regular- untuk kalangan ekonomi bawah, buruh pabrik, pekerja informal dan pedagang kecil

Sekian, semoga bermanfaat.