Sabtu, 12 Januari 2013

Membandingkan Gubernur Jakarta (Joko Widodo) dan Walikota Surabaya (Tri Rismaharini)



*Maaf tulisan ini hanya pendapat pribadi penulis dan mungkin sama dengan sebagian orang, tetapi mohon maklum jika tidak sependapat

Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi)  saat ini menjadi sosok yang paling banyak dibicarakan di semua media, mulai media cetak, Televisi dan online karena reputasi gaya dan caranya memimpin. Gaya atau style yang merakyat dan ndesoni  ini-lah yang paling menjadi sorotan.  Bahkan Jokowi dinobatkan sebagai walikota  urutan nomer 3 terbaik di dunia menurut (The City Mayors Foundation) ketika mejabat sebagai walikota Solo.
Untuk ruang lingkup Kota Solo Jokowi bisa dianggap berhasil dan mempunyai reputasi yang sangat bagus, lalu bagaimana dengan ramalan keberhasilan memimpin Sebagai Gubernur Jakarta, apakah akan mengantarkan Jokowi sebagi Gubernur yang berhasil pula?.

Jakarta bukanlah Solo dan orang-orang yang tinggal di Jakarta tidak seperti orang-orang yang tinggal di Solo.  Jakarta adalah kota megapolitan dengan permasalahan yang sangat komplekssss1000x. Dengan  berbagai problemya maka untuk memipin Jakarta agar dapat menjadi lebih baik deperlukan syarat-sayarat pemipin yang mempunyai kemampuan kompleks pula.

Seperti apa pemimpin yang mempunyai kemampuan kompleks itu?
  • Tegas :  ya perlu tapi tidak cukup,
  • Jujur :  ya perlu tapi tidak cukup,
  •  Peduli :  ya perlu tapi tidak cukup,
  • Visioner :  ya perlu tapi  masih belum cukup.
Dan syarat yang tidak boleh ditinggalkan adalah “ mempunyai kompetensi” atau pengetahuan yang memadai dari semua aspek permasalahan dan harus mempunyai "power of sense" dalam hal decision atau pengambilan keputusan.
"Power of sense"  adalah  kemampuan seorang pemimpin untuk memutuskan sesuatu yang dianggap benar menurut rasa/insting yang dimilikinya tanpa harus mendengar dan melihat permasalahan secara keseluruhan.
Seorang pemimpin seharusnya sudah tahu apa yang perlu diperbuat hanya dengan observasi singkat.
Jika seseorang mengambil keputusan harus didahului dengan "public hearing", atau survei dan mengumpulkan pendapat dulu cocoknya bekerja dibidang surveyor atau statistika saja dan tentu-lah keputusan-keputusannya akan dipengaruhi dari hasil observasi dan public hearing tersebut yang terkadang dari hasil tersebut terdapat bermacam-macam masukan kesimpulan, yang butuh filter yang benar dan jika filternya salah maka keputusan yang sudah memakan waktu tersebut sama saja tidak ada gunanya.

Apakah "Power of sense" bisa disamakan dengan "Otoriter"?
Jelas beda.
Power of sense berdasarkan atas kemampuan rasa dan keyakinan atas kebenaran yang memang  harus dilaksanakan dengan segala konsekwensinya dengan harapan mendapatkan manfaat/kebaikan, sedangkan Otoriter yang dipaksakan berdasarkan atas kemauan/ego dan kepentingan tertentu yang belum tentu mendatangkan manfaat.

Bagaimana dengan Jokowi?
Menurut pengamatan saya.... (sorry kalau berlagak jadi pengamat)
Tegas : ya,  Jujur : mungkin ya, Peduli: sangat peduli terutama pada kalangan bawah, tetapi tidak begitu dengan kalangan menengah keatas yang notabene mempunyai kemampuan finansial yang apabila diakomodir dengan tepat bisa mensupport kesejahteraan kalangan bawah.

Bagaimana dengan Kompetensinya?.
Untuk kota sekelas Solo sangat bagus, tetapi untuk sekelas Jakarta sepertinya hanya faham permasalahannya 10% saja.

Untuk perbandingan coba kita membuat perbandingan dengan tokoh yang mempunyai lingkup kepempinan yang hampir sama dan mempunyai kemiripan permasalahan yang dihadapi, yaitu Joko Widodo Memipin Jakarta dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang memimpin Surabaya, walaupun bisa dikatakan kurang fair jika dibandingkan dengan besaran beban yang harus ditanggung, tetapi setidaknya mempunyai permasalahan tidak jauh berbeda.

Saya mulai meniali dari Jokowi sampai Hari Ini (lebih kurang dua setengah bulan memimpin Jakarta) :
Jokowi dalah sosok pimpinan yang  diidamkan oleh Jakarta untuk dapat merubah Jakarta agar lebih baik dengan cepat. Pada awal terpilihnya sudah mulai dengan berbagai gebrakan mulai dari penerbitan Kartu Sehat, Kartu Pintar, rencana bikin kampung deret  dan yang tidak kalah fenomenal dalah gaya blusukannya ke kampung-kampung kumuh dan lokasi banjir dengan dalih agar dapat mengetahui permasalahn Jakarta kususnya masyarakat kelas bawah. Ini bisa dibilang bagus dan mendapat nilai Plus.
Selanjutnya bebagai masalah tranportasi  untuk solusi kemacetan seperti MRT, Momorail, Bus Trans Jakarta, proyek Toll dalam kota mulai dievaluasi. Ini bisa dibilang bagus dan patut mendapat applause.
Tetapi hasil evaluasi yang dilakukan sampai sekarang belum mendapatkan kejelasan, padahal harus berlomba dengan masalah yang semakin menumpuk. Belum satupun masalah transportasi  yang dievaluasi  diberikan solusi nyata yang siap direalisaikan, bahkan cenderung membuat blunder dan terlalu mudah berwacana ke public. Perubahan kecil pun belum mampak, dan sering meremehkan masalah . "gampang masterplan sudah ada semua tinggal dieksekusi" tinggal buka kran menjadi pepesan kosong, walaupun terlalu dini untuk menilai. Awal yg buruk…?????
- Kampung deret
- Revitalisasi Kopaja & Metromini
- Monorail
- MRT
ditambah lagi Deepth Tunel (Trowongan Multiguna) yang belum jelas feasibilitynya tetapi sudah ditetapkan positif pembangunannya.

Karena ke-egoan-nya yang tidak mau menjalin hubungan yang lebih erat ke kalangan elite birokrat dan pengusaha maka konsekwensinya Jokowi tidak akan mudah membuat bargaining (kekuatan untuk menawar) dan akan menjadi hambatan untuk meluluskan program-program yang berkaitan dengan finansial besar yang membutuhkan investor.
Mestinya Jokowi bertindak seimbang antara blok bawah dan atas, yaitu tetap memperhatikan dan mensupport kalangan bawah agar bisa lebih baik dan sejahtera tetapi jangan lupa untuk semakin mempererat hubungan golongan berduit agar mereka mau ikut mensupport kalangan bawah agar lebih sejahtera dengan cara mereka. Jokowi hendaknya jangan takut dibilang "Elitis" hanya gara-gara dekat dengan birokrat dan golongan berduit, karena dengan eratnya hubungan mereka, maka program-program lainnya yang pro-rakyat akan mudah terealisasa dengan adanya dukungan mereka.
"Urusi akarnya tapi jangan lupa urusi bunganya."

Bagaimana Surabaya dengan Bu Tri Rismaharini?.
Terus terang saja sebetulnya saya tidak tahu banyak tentang Bu Tri Rismaharini, tetapi saya mencoba mencari tahu ketika saya setelah sekian lama tidak menejejakkan kaki di Surabaya begitu kagum dengan perkembangan Kota Surabaya dengan penataan kota-ya yang begitu bagus dan hasil yang seperti ini tentulah bukan dari hasil pekerjaaan yang asal-asalan tetapi hasil dari kerja keras dan perencanaan yang sistematis. Kita lihat yang kasat mata mulai dairi terminalnya, bandara, jalan-jalan yang ada, sungai, pedagang kaki lima dan lain-lainya serta proyek-proyek yang sedang berjalan dan manfaat yang bisa dirasakan.
Ketika saya bertanya ternyata tidak semua orang di Surabaya tahu siapa di balik kemajuan Kota Surabaya seperti sekarang ini.

Ya.... itulah mungkin bedanya antara Jakarta dan Surabaya, dengan berbagai woro-woro, gempitanya, hebohnya tetapi tidak ada perkembangan yang signifikan. Yang menonjol dari kegiatan pembangunan Jakerdah adalah pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang dilakukan oleh non pemerintahan, sedangkan Surabaya tanpa terdengar gempitanya hasilnya terlihat dengan pasti dan nyata.
Tentunya apa yang dihasilkan bukan karena proses yang terjadi biarkan terjadi tetapi ada di balik itu sosok-sosok yang berperan di dalamnya, terkenal ataupun tidak terkenal beliau-nya sangat menentukan perannya.