Rabu, 23 Oktober 2024

Islam Bersandar pada Logika, Nurani, Iman dan Taqwa

 Islam adalah Agama Tauhid yang dibangun di atas logika yaitu kekuatan akal untuk mencari sesuatu kebenaran.

Namun Logika manusia yang mempunyai keterbatasan butuh yang namanya petunjuk dari yang Maha Tahu, 

Dalam mencari kebenaran tentunya ada tahapan-tahapan yaitu keingin-tahuan.

Tingkat keyakinan dalam mengetahui kebenaran adalah :

-Melihat sendiri wujudya (ainul yakin)

-Menegetahui dari kabar dan informasi terpercaya

-Melihat dengan tanda-tanda berdasar logika

-Mengetahui dengan petunjuk (alat dan instrument)

Untuk mencari tahu sesuatu yang belum diketahui adalah mencari petunjuk dengan cara belajar, observasi dan experiment (untuk level kasus tertentu) yang tentunya butuh yang namanya kecerdasan.

Belajar adalah mencari tahu berdasarkan rujukan atau referensi dari sumber yang sudah tahu, maka jika belajar ini kebetulan mendapati rujukan yang salah maka bukannya menjadi tahu tetapi malah menyesatkan, maka berhati-hatilah jika mencari rujukan untuk belajar.

Dalam belajar inilah dibutuhkan yang namanya indera, yaitu melihat, mendengar, merasa yang kemudian diresepon oleh pikiran (akal).

Akal yang baik dan cerdas dan waras akan merespon dari belajar tersebut dengan mengingat kemudian mampu mengolah untuk menarik suatu kesimpulan,

namun ada akal yang hanya mampu sekedar mengingat saja dari suatu proses belajar, bahkan akal yang bebal dan buruk kadang tidak mampu walau hanya sekedar mengingat saja.

Untuk mencari tahu berdasarkan logika tentu butuh yang namanya kecerdasan.

Kesempurnaan kecerdasan jika manusia ini mempunyai kecerdasan akal yang dibackup dengan kepekaan hati (qolbu).

Kecerdasan akal yang tidak selaras dengan kepekaan hati akan membawa kepada kesombongan yang pada akhirnya akan mengotori akal sehingga menjadi akal yang buruk (tidak cerdas lagi)

Tetapi Islam bukan hanya sekedar agama Tauhid yang hanya sekedar mempercayai adanya Tuhan tanpa diikuti suatu perbuatan. lebih dari itu Islam adalah Agama Tauhid yang ditindaklanjuti dengan amalan-amalan

Islam itu Agama Syariat maka perlu sanad.

Syariat adalah tata cara beribadah mahdhoh yang diajarkan oleh Nabi

Sanad adalah: Rujukan yang diakui keabsahannya berdasarkan urutan-urutan orang yang menyampaikannya.

Bagaimana mensikapi Islam sebagai Agama Tahuid dan bagaimana pula mensikapi Islam sebagai Agama Tauhid yang mempunyai Syariat?.

Kita diberikan contoh Seperti Nabi Ibrahim untuk bagaimana kita berpikir logis untuk mencari kebenaran seperti yang dikisahkan dalam Alquran bagimana Nabi Ibrahim berpikir tentang Tuhan (pencipta dan penguasa) dan bagaimana beliau mencari dan mengenal Tuhan, dan setelah semua itu tercapai ada tindak lanjut yaitu mengikuti perintah Tuhan.

Kalau seorang Nabi mengikuti perintah Tuhan bisa langsung mendapat mandat dari Tuhan secara langsung ataupun lewat wasilah (medium atau perantara)

yang tentunya tidak sama dengan kita atau orang kebanyakan karena memang Nabi itu orang terpilih. Perintah atau pemberitahuan Tuhan kepada Nabi itu disebut dengan wahyu.

Wahyu itu ada yang internal ditujukan personal untuk Nabi itu sendiri ada juga yang berupa risalah yang harus disampaikan kepada pengikutnya.

Maka ketika Nabi mendapat mandat dari Tuhan untuk melakukan sesuatu maka Ia akan begitu yaqin.

Beda dengan kita manusia kebanyakan menerima perintah Tuhan kemudian mengajarkan amalan-amalan agar sesuai bisa jadi sudah melalui rantai yang panjang, mulai dari Nabi, para sahabat, tabiin dan ulama seterusnya, maka agar terjaga dari penyimpangan dibutukan yang namanya sanad (rujukan).

Dalam Islam sanat atau rujukan ini mempunyai ketentuan-ketentuan agar diakui keabsahannya.

Jika seseorang sudah diakui keabsahan kesanatannya maka apa yang disampaikan (diijazahkan) yang berkaitan tentang syariat cukup ditaati tidak perlu banyak bertanya apalagi komplain.

Hal ini selaras dengan sindiran di Alquran di Surat Albaqoroh kepada orang Yahudi ketika diminta korban sapi betina oleh Nabi Musa untuk ritual  sebagai syarat pembuktian kasus pembunahan dikala itu, namun syarat yang sebenarnya mudah dan longgar selalu ditanyakan lebih detail oleh orang yahudi kepada Nabi Musa sehingga mempersempit syarat yang akhirnya merepotkan diri sendiri, yang hampir-hampir mereka tidak mampu lagi memenuhi syarat yang dipersempit tersebut.

Ini bisa saya umpamakan dengan kasus seperti ini:

Si Jamal di Semarang diperintahkan Bosnya untuk pergi ke Jakarta mengambil Laptop bosnya yang tertinggal di kantor pusat.

Uang saku dan keperluan secukupnya sudah disediakan, seharusnya ia segera ke Jakarta dengan banyak pilihan moda transportasi sesuai pilihannya, namun

Si Jamal orangnya kritis maka ia tanya kepada Bosnya sebegitu detail, ke Jakarta naik apa, duduknya sebelah mana,jam berapa, dll, sehinnga ketika hal-hal tersebut ditentukan dan menjadi acuan justru mempersempit dan menjadi merepotkan diri-sendiri.

Ok, kritis itu baik, tapi tidak baik untuk hal-hal tertentu, begitu juga untuk perintah syariat yang diyakini dari Tuhan tidak perlu dikomplain logis atau tidak logis,

yang jelas setiap syariat dari Allah pasti punya hikmah.

Anda di perintah tidak makan Babi cukup lakukan sebagai tanda taqwa tidak perlu berpikir atau cari alasan logis tau tidak logis.

Anda di suruh sholat dengan sujud, puasa, zakat dll., dengan ketentuan-ketentuannya ikuti saja sesuai sanad yang ada.

Adapun kalau ada yang mengkaji dari semua itu tentang hikmah atau logis dan tidak logis okelah, 

biarin mereka, cukup bagi kita mengikuti dan melaksanakan sesuai perintah sesuai yang kita mampu.

Itu bukan berarti kita dilarang kritis tapi ada ranah yang memang kekritisan kita tidak diperlukan karena Syariat itu atas maunya Tuhan yang bebas berkehendak, bukan maunya kita sebagai hamba.

Ya itulah Islam, dalam ketauhidan butuh akal (logika), butuh hati atau qolbu sebagai pembackup dan implementasinya butuh  kepercayaan (iman) dan ketaatan (taqwa) yang harus berpadu tidak bisa terpisah-pisah.

Semoga bermanfaat, kurang lebihnya mohon maaf,

Achmad Budion

Tidak ada komentar:

Posting Komentar